Assalamu'alaikum... Welcome in My Site!

Pages

Thursday 22 April 2010

Penantian

Share/Bookmark
Untuk kesekian kalinya aku mengagumi senyum di hadapanku ini. Fajar selalu membuatku kagum dengan tetek bengek tingkah anehnya. Dan aku dengan ikhlas bercapek-capek untuk selalu kagum. Kalo dipikir-pikir aku rugi, sih.
“Gimana, Ri? Keren gak?” senyum lebarnya kembali dipamerkan. Kemudian perhatianku beralih ke sebuah gitar yang dipegangya. Wow, gitar listrik.
” Wah, baru ya Jar?” seruku sambil meraih leher gitar yang berwarna biru metalik itu. Benar-benar cring. Harganya juga pasti selangit. Padahal dulu-dulu dia udah bilang kalo dia bokek berat.
”Duit dari mana nih......,” gumamku masih mengagumi gitarnya.
”Sebagian gue pinjam dari Putri. Gue nyicil tiap bulan pake uang saku dari ortu. Sebagian lagi gue bobol ATM gue,”
Aku terbelalak kaget ”Dari Putri?”
”Iya separo,” katanya mengangkat bahu. Aku tertunduk di samping gitar itu. ”Gue gak minta. Dia sendiri yang nawarin pinjeman, dia juga setuju kalo gue bayarnya nyicil.”
Bukan aku gak percaya sama Putri. Cuma aja, kenapa Fajar harus datang ke Putri? Bukan aku, temannya yang sejak berjuta-juta tahun yang lalu. Sejak zaman kuda punya sayap sampai ular punya kaki (emangnya kapan?). Aku bener-bener enggak terima. Aku cemburu. Cemburu? Dan sekarang harus kusadari aku menyukai Fajar sejak dulu. Tapi tampaknya bertepuk sebelah tangan. Ya ampun.....

(#_-)

Kepalaku pusing dan kakiku serasa menginjak spons. Limbung.
”Cuma sebentar kok, Ri. Enggak seterusnya,” kata Reza.
Aku pusing.
”Kemarin gue nyoba-nyoba suara Putri. Eh, ternyata bagus juga. Enggak nyangka kalo suara dia oke juga. Sekali-kali elo dengerin deh, Ri,” suara Fajar terdengar bersemangat, seperti enggak menyadari kekecewaanku. Sementara Agung dan Reza Cuma mengangkat bahu waktu kuminta sedikit penjelasan atas semua ini.
”Jadi gue dikeluarin?” bentakku gusar.
Fajar terkejut, ”Eh, elu kok ngomong kayak gitu Ri! Gue udah bilang kalo ini cuma sementara aja. Elu kan sekarang sibuk di OSIS. Daripada band ini gak punya vokalis, enggak ada salahnya punya vokalis kedua, biar ada cadangan. Lagian Putri kan bukan orang lain......”
”Cadangan? Gue atau dia yang cadangan, hah?”
Fajar manyun, ”Kenapa sih si Ria, dari tadi sewot melulu?” tanyanya pada Agung dan Reza.
”Gak tau. PMS kali!” kata Reza asal. Dan stik drum di tanganku sukses mendarat di kepalanya.

(>_<)

Kayaknya aku ini sedang sial-sialnya. Gimana enggak, di saat aku ingin memperjuangkan posisiku di band dan teman-temanku, aku harus menghadapi rapat OSIS yang gila-gilaan. Jelas aja gila, rapatnya tiap hari dan sedikitnya dua jam aku harus ngutek bareng anak-anak yang sebenarnya nggak aku kenal banget. Mau ngabur, enggak enak sama anak-anak lain. Padahal, aku sibuk di OSIS juga gara-gara anak sekelas yang nggak mau repot ikutan.
Aku berjalan tergesa-gesa menuju kelas. Sebentar lagi jam istirahat habis, dan ternyata aku belum mengerjakan PR Matematika. Benar-benar aku jadi lupa segalanya. Tadi malam aku kecapekan ngetik proposal sampai nggak punya energi lagi untuk ngerjain PR yang sepuluh nomor itu. Padahal Pak Supriyanto udah sentimen berat sama aku. Entah kenapa.
”Ria!”
Aku melonjak kaget karena seseorang menarik lenganku.
”Ria sorry,”aku melihat Putri berdiri di hadapanku yang masih mengatur napas. Maklum, aku tadi jalan kayak ninja, hehehe.
”Putri, kenapa?” sedikit aku melirik di pergelangan tanganku.
”Gue mau ngomong penting ama lu,” kulihat wajah Putri menampakkan keraguan.
”Ngomong aja,” Putri kembali ragu-ragu.
”Ngomong aja deh Put. Elu kok grogi gitu?” aku berusaha mencairkan ketegangan di wajahnya supaya cepetan ngomong. Dan aku bisa cepat-cepat ngabur ke kelas untuk menyelamatkan karir Matematikaku.
”Ria, gue mau ngomong penting ama lu. Tapi elu jangan kasih tau orang lain, ya!”
Aku mengernyit, ”Wah kalau rahasia sih sebaiknya gak usah cerita,”
”Ini rahasia buat orang lain, tapi buat elu sih enggak,”aku semakin kebingungan.
”Ngomong apa sih, Put? Soal siapa?”
Putri menatapku ragu. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan enggak ada yang mendengarkan suaranya selain aku.
”Soal Fajar......,” katanya setengah berbisik.
Aku terkejut, ”Fajar?”
Putri mengangguk, ”Kemarin dia nembak gue,”

Dhuarrr!!! Serasa ada bom di telingaku yang membuat jantungku hilang dari tempatnya. Aku mengingat-ingat lagi, sepertinya cewek yang ada di depanku ini bilang kalau Fajar udah nyatain perasaanya ke dia. Oh God.......
”Ri, gimana dong?” Putri berdiri dengan wajah memelas, tapi tak separah dengan keadaan hatiku. Enggak, hatiku pun sudah hilang dari tempatnya.
”Eh?” aku menelan ludah, aku benar-benar mati gaya.
”Gimana Ri, gue bingung,” Putri menunduk.
”Ri, sebenarnya gue juga suka sama Fajar. Udah dari kelas satu malah. Waktu gue bisa dekat sama kalian, gue udah senang banget. Dan gue sadar, semakin gue kenal dia semakin besar rasa suka gue...”
Aku terpaku menatap wajah yang tertunduk di hadapanku. Aku meraih tangannya, ”Put, ke kantin aja yuk,”

(#_@)

Aku terdiam menatap gelas yang berembun. Di hadapanku ada Putri yang memainkan ujung sedotan.
”Kenapa elu cerita soal ini?” ini benar-benar nggak ngenakin, bathinku.
”Aku bingung Ri...., gue harus cerita sama seseorang. Gue harus cerita ke elu,”
”Kenapa?” tanyaku was-was.
”Karena kamu kenal baik sama Fajar,”
Aku tersenyum dalam hati. Kata-kata Putri seperti lawakan yang menyakitkan. Aku mendehem pelan. ”Terus?”
”Terus, yaaa......”
”Yaaa,”
”Aku terima,”
Aku enggak tahu lagi apa yang kupikirkan. Apa yang kurasakan? Entahlah, apa itu penting sekarang ini?
”Ri, andai elu tahu,”
Aku kembali menatapnya.
”Gue terlalu bahagia. Sangat bahagia, seperti....,”
”Seperti apa?”
Putri tersenyum, ”Seperti mimpi,”
Aku ikut tersenyum. ”Tapi ini lebih baik, kan? Ini nyata, bukan mimpi,”
Putri tersenyum. Aku bisa melihat wajahnya, seperti orang mabuk kepayang.
”Berarti enggak ada masalah kan, Put.”
Putri menatapku ragu, ”Iya sih, tapi,”
Aku balas menatapnya.
”Tapi aku perlu tahu pendapat elu, Ri.”
Aku tertegun, ”Kenapa?”
”Kamu,” Putri menatapku dalam, ”Suka Fajar, Ri?”

(/’_’\)

Aku memberanikan diri menatap wajah teman-temanku satu-persatu. Dan kudapati wajah mereka yang terkejut.
”Apa-apaan sih, Ri!” Reza maju kehadapanku. ”Yang bener aja ah,”
Aku memaksakan diri untuk tersenyum, ”Bener, kok.”
Reza menoleh kearah dua temanku yang lain, Agung dan Fajar.
”Ri,” terdengar suara Agung yang lembut. ”Ada apa sih, sampai elu ngomong gitu?”
Aku mengangkat bahu. ”Gue pikir ini yang terbaik.”
”Buat siapa?” Reza melotot ke arahku. ”Elu atau kita?”
Aku menunduk, sudah kuduga akan sulit sekali menjelaskannya pada mereka. Padahal sudah semalaman sudah kupersiapkan kata demi kata yang harus kukatakan pada mereka.
”Sorry, yah. Gue minta elu-elu pada jangan beranggapan kalau gue egois. Justru sebaliknya, kalau gue tetap bareng kalian sementara konsentrasi gue terpecah kemana-mana, berarti gue egois. Sama artinya kalau gue menghambat kemajuan band ini,”
Aku mencoba mempertahankan intonasi suaraku setenang mungkin, ”Bukan berarti gue lebih memilih kesibukan gue di OSIS ketimbang band ini. Gue enggak perlu memilih, karena gue enggak berniat berhenti jadi teman lu.”
Aku bersyukur tak sampai meneteskan air mata. Andai mereka tahu betapa rumitnya masalah yang kuhadapi juga beratnya keputusan yang harus kuambil. Tapi aku tak mau menyesalinya, walaupun mau tak mau aku harus belajar melupakan Fajar.
”Apa masalahnya Putri?” suara Agung yang lembut pun kembali terdengar. Aku menggeleng.
”Yang benar? Soalnya elu mulai berubah setelah Putri dateng.”
Perkataan Fajar mengejutkan sekaligus menyakitkanku. Aku enggak percaya dia sampai ngomong begitu. Tapi aku tetap mencoba untuk tersenyum.
”Yah, awalnya gue emang kesel. Seakan gue itu dibuang sama elu-elu pada.” Aku melirik Fajar sekilas, ” Tapi sekarang gue justru bersyukur karena tempat gue enggak akan kosong. Sekarang Putri bisa full konsentrasi di band, kan?”
Mereka terdiam. Aku merasa telah mengatakan semuanya. Kubereskan tas ranselku dan bersiap pergi. Mungkin nantinya aku enggak dateng ke sini lagi. Enggak akan mendengarkan lawakan Reza, gerutuan Agung ataupun ejekan Fajar. Enggak apa-apa. Aku sudah memutuskan ini setelah kuakui perasaanku pada Putri, bahwa aku juga menyukai Fajar. Kupikir waktuku telah habis. Setahun bersamanya hanya menyadarkan aku bahwa Fajar tak memiliki perasaan yang sama terhadapku. Tapi lihat Putri, tak sampai sebulan dia sudah dapat memenangkan hati Fajar.

(#_”)

Hah, akhirnya. Selesai juga rapat OSIS nya. Kini aku sedang haus sekali. Jadi, aku pergi ke kantin dan memesan satu teh botol.
”Hai, boleh duduk enggak?” kata Fajar mengagetkanku sembari langsung mengambil tempat duduk di sampingku. Menyebalkan.
”Tumben, mau ngapain lu?” tanyaku.
”Kangen sama elu Ri, memang gak boleh?” jawabnya.
”Hee...gue juga kangen,”
”Ah, bohong!”
”Lho?”
”Iya,” Fajar melempar sedotan di tangannya. ”Kalau elu kangen kok enggak ke tempat latihan? Kok enggak nelpon gue? Kok jarang ngantin sama kita-kita? Enggak ingat sama teman lama, ya?”
Aku kembali tersenyum. Ingin rasanya kulempar dia dengan teh botol yang kupegang ini. Begitu tidak sensitifnya dia. Tapi apa aku bisa menyalahkannya?
”Elu berubah.”
Aku mendongak, ”Apaan?”
Fajar menatapku, lalu tersenyum. ”Gue kangen sama elu yang dulu.”
”Yang bagaimana?”
Fajar mengangkat bahu. ”Elu pasti tahu!”
”Coba elu yang kasih tahu gue!”
”Dulu, kalau gue liat elu, gue kayak liat teman cowok gue, kayak liat Reza atau Agung. Perkataan elu, sikap elu, cara bicara elu, bahkan muka elu jadi kayak mereka!”
Aku tertawa pelan. Dia benar-benar menyebalkan. ”Kalau sekarang?”
Fajar tak segera menjawab. Aku sedikit grogi waktu kusadari dia memandangiku.
”Ternyata elu perempuan ya Ri?” katanya pelan.
Aku terbelalak, ”Sialaaaan!!!”
Fajar ngakak sengakak-ngakaknya.
”Elu sekarang betul-betul berubah ya, Ri?” katanya sambil menunduk.
Aku mengangkat bahu, ” Jar, jujur ya. Elu suka gue yang dulu atau gue yang sekarang?”
Wajah Fajar berubah mendadak serius. Aku mulai tegang. Waduh, jarang-jarag dia begini.
”Gini Ri. Gue enggak berhak menjawab itu.”
Aku tertegun.
“Elu tetap temen gue selamanya, walaupun seberapa berubahnya gue atau elu. Elu tetap sahabat gue. Selamanya.”
Inikah arti diriku di hati Fajar. Aku ditolak sebelum menyatakan cintaku. Tapi dia melakukannya dengan cara yang indah. Oh Allah, jika aku sudah dianugerahi seorang sahabat seperti ini, masihkah aku untuk berharap lebih? Masihkah aku berharap untuk dia memandangku dengan cara lain? Ini sangat-sangat lebih berharga daripada menjadi kekasihnya. Ya Allah, terima kasih.

(-_-)

Kuambil nasi goreng yang ada di depanku ini. Satu, dua, tiga, yak tiga centong kuberhentikan setelah melihat piringku penuh dengan nasi goreng menggunung.
”Masya’allah, banyak bener,” kata Reza.
Agung tersenyum, ”Habis Ri?”
“Habis, pasti habis!” Kata Fajar ngakak sambil menepuk pundakku.
”Masih gak mau balik ke band?” tanya Agung.
”Kenapa? Toh gak ada bedanya,” aku menjawab sekenanya.
”Beda. Gue berubah, Reza berubah, Fajar berubah. Elu...waduh sama aja,” kata Agung sambil melihat piringku.
Aku hanya nyengir. Sambil menatap wajah para teman-temanku, aku menyendok sesuap demi sesuap. Tanpa sengaja tatapan mataku bertubrukan dengan tatapan mata Fajar. Dia tersenyum, aku pun ikut tersenyum. Mungkin hanya senyumnya kini yang bisa kunikmati. Sebab Fajar sudah menjadi milik Putri.
Setelah habis, aku merapikan mulutku. Membereskan ranselku lalu pergi.
”Udahan Ri?” kata mereka bersamaan.
Aku terseyum sembari menatap mereka. Mungkin aku enggak akan datang ke tempat latihan ini lagi. Setelah Putri gabung jadi vokalis band ini dan setelah Putri menjadi kekasih Fajar. Semuanya pasti enggak bakalan sama seperti dulu lagi. Pasti berubah. Tapi aku akan menunggu. Kutunggu sampai perasaanku terhadap Fajar berubah atau perasaan Fajar berubah terhadapku. Dan pada saat itulah aku akan menjadi sahabat terbaiknya.
”Cabut dulu ya. Assalamu alaikum.” Ucapku sembari berlalu.
”Waalaikum salam.” Sahut mereka serempak.

0 komentar:

Post a Comment

Saya cuma manusia biasa yang pasti gak pernah luput dari salah.
Dimohon kritik dan saran para Agan dan Sist semua.
Komen 1 dapat kupon, 10 komen dapat gelas, 20 komen dapat piring, periode 2 detik setelah baca tulisan ini. Hehehe...